Penegakan Hukum Indonesia, Tajam ke Bawah Tumpul ke Atas
Ada apa dengan negeriku tercinta?
Oleh : Rumaini
Istilah ini mungkin sudah lumrah di
masyarakat Indonesia saat ini bahwa, hukum di Indonesia timpang sebelah atau
dalam tanda kutip “Tajam ke bawah dan Tumpul ke atas” maksud dari istilah
tersebut adalah salah satu sindiran nyata bahwa keadilan di negeri ini lebih
tajam menghukum masyarakat kelas menengah. Coba bandingkan dengan para koruptor
yang notabene adalah para pejabat kelas ekonomi ke atas, mulai dari tingkat
anggota DPRD hingga para mantan menteri juga terjerat dengan kasus korupsi.
Dalam kehidupan sehari-hari kita
sering menemui perkara-perkara kecil tapi dianggap besar dan terus
dipermasalahkan yang sebenarnya bisa di selesaikan dengan sikap kekeluargaan,
namun berlangsung dengan persidangan yang tidak masuk akal. Sementara, di luar
masih banyak koruptor yang berkeliaran dengan senang dan santainya menikmati
uang rakyat yang acap kali disalah gunakan untuk hal yang bersifat pribadi,
bukannya untuk menyejahterakan rakyat, namun malah digunakan untuk hal-hal yang
membuat seseorang itu menderita.
Penegakan hukum berbagai kasus di
negeri ini acap kali mengingkari rasa keadilan yang menyengsarakan masyarakat,
diskriminasi hukum kerap dipertontonkan aparat penegak hukum. Yang lebih ironi
ketika anak seorang pejabat tinggi menjadi tersangka kasus kecelakaan yang
menewaskan 2 orang tidak ditahan penyidik. Sejatinya, kasus pendekatan ini bisa
di selesaikan dengan kearifan lokal yang baik atau pendekatan sosial kultural
kekeluargaan.
Kondisi hukum masih seperti ini,
ketika berhadapan dengan orang yang memiliki kekuasaan, baik itu kekuasaan
politik maupun uang, maka hukum menjadi tumpul. Tetapi, ketika berhadapan
dengan orang lemah, yang tidak mempunyai kekuasaan dan sebagainya. Hukum bisa
sangat tajam. Hal ini terjadi karena proses hukum itu tidak berjalan secara
otomatis, tidak terukur bagaimana proses penegakan hukumnya. Seharusnya, ketika
ada kasus hukum kita bisa melihat dengan cara yang matematis. Perbuatannya apa,
bagaimana prosesnya, bagaimana proses pembuktiannya, bagaimana keputusannya.
Kalau ini diterapkan, proses penyelesaian hukumnya pasti berjalan dengan baik.
Tetapi, banyak anomali-anomali yang terjadi. Misalnya kasus pencurian,
tuduhannya pencurian, tetapi anomali yang terjadi bisa saja berbeda atas
kedudukan status sosialnya. Jika nanti kasusnya terjadi kepada yang status
sosial kalangan bawah, maka proses penegakan hukumnya cepat dan mudah dalam
penahanan. Namun sebaliknya jika terjadi pada orang yang status sosialnya
tinggi yaitu berkuasa dalam masalah keuangan dan politik. Inilah yang menjadi
problema dalam kasus seperti ini jangan sampai terulang kembali kejadian dalam
kasus ini sangat kontroversi, dan menyengsarakan masyrakat yang tentunya
dipertanyakan bahwa di manalah keadilan bagi “wong cilik”. Masyarakat sering
tidak percaya dengan proses hukum, nantinya masyarakat akan melihat bahwa dalam
melihat proses penegakan hukum ini bisa melihatnya dengan keadilan.
Melihat dari perspektif hukum yang
pernah di jalani, sebenarnya bila ada laporan tentang sebuah kejadian yang
diduga sebagai tindak pidana, tugas polisi adalah mengumpulkan informasi atau
data yang masuk sebanyak-banyaknya, yang dapat dikategorikan sebagai alat bukti
atau barang bukti sehingga mengkonstruksikan apakah dari informasi dan data ini
atau dapat mengkonstruksikan pasal pidana. Selanjutnya dari anatominya yang melihat
unsur-unsur dari jaksa dan selanjutnya masuk dalam proses pengadilan. Dalam
proses penegakan hukum Terminologinya adalah “barangsiapa” jadi siapa saja bisa
mengalami proses hukum. Nanti jika yang menyangkut soal kepemilikan
dipersoalkan tersendiri.
Keadilan “hukum” bagi kebanyakan
masyarakat seperti barang mahal, sebaliknya barang murah bagi segelintir orang.
Keadilan hukum hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kekuatan dan akses
politik serta ekonomi saja. Kondisi ini sesuai dengan ilustrasi dari Donald
Black (1976:21-23), ada kebenaran sebuah dalil, bahwa Downward law is
greater than upward. Maksudnya, tuntutan-tuntutan atau gugatan oleh
seseorang dari kelas “atas” atau kaya terhadap mereka yang berstatus rendah
atau miskin akan cenderung dinilai serius sehingga akan memperoleh reaksi,
namun tidak demikian yang sebaliknya. Kelompok atas lebih mudah mengakses
keadilan, sementara kelompok marginal atau miskin sangat sulit untuk
mendapatkannya (Wignjosoebroto, 2008:187).
Fenomena ketidakadilan hukum ini
terus terjadi dalam praktik hukum di negeri ini. Munculnya berbagai aksi protes
terhadap aparat penegak hukum di berbagai daerah, menunjukkan sistem dan
praktik hukum kita sedang bermasalah. Menurut Ahmad Ali (2005), supremasi hukum
dan keadilan hukum yang menjadi dambaan masyarakat tak pernah terwujud dalam
realitas riilnya. Keterpurukan hukum di Indonesia malah semakin menjadi-jadi.
Kepercayaan masyarakat terhadap law enforcement semakin memburuk.
Gambaran ini yang disebut Satjipto
Rahardjo sebagai bentuk krisis sosial yang menimpa aparat penegak “hukum” kita.
Berbagai hal yang muncul dalam kehidupan “hukum” kurang dapat dijelaskan dengan
baik. Keadaan ini yang kurang disadari dalam hubungannya dengan kehidupan hukum
di Indonesia (Rahardjo, 2010:17). Praktik-praktik penegakkan hukum yang
berlangsung, meskipun secara formal telah mendapat legitimasi hukum (yuridis-formalistik),
namun legitimasi moral dan sosial sangat lemah.
Ada diskriminasi perlakuan hukum
antara mereka yang memiliki uang dan yang tak memiliki uang, antara mereka ada
yang berkuasa dan yang tak punya kekuasaan. Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase
saja. Namun, realita hukum terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat
miskin dan menyanjung kaum elit. Penegak hukum lebih banyak mengabaikan
realitas yang terjadi di masyarakat ketika menegakkan undang-undang atau
peraturan. Akibatnya, penegak “hukum” hanya menjadi corong dari aturan. Hal ini
tidak lain adalah dampak dari sistem pendidikan hukum yang lebih mengedepankan
positifisme. Penegak hukum seperti memakai kacamata kuda yang sama sekali
mengesampingkan fakta sosial. Inilah cara ber”hukum” para penegak hukum tanpa
nurani dan akal sehat.
Karena itu, di tengah keterpurukan
praktik ber”hukum” di negara kita ini yang mewujudkan dalam berbagai realitas
ketidakadilan hukum, terutama yang menimpa kelompok masyarakat miskin. Sudah
saatnya kita tidak sekedar memahami dan menerapkan hukum secara legalistic-positivistic,
yakni cara ber”hukum” yang berbasis pada peraturan hukum tertulis semata (rule
bound), tapi perlu melakukan terobosan hukum, yang dalam istilah Satjipto
Raharjo (2008), disebut sebagai penerapan hukum progresif. Dan salah satu aksi progresivitas
hukum, adalah berusaha keluar dari belenggu atau penjara hukum yang bersifat positivistik
dan legalistik. Dengan pendekatan yuridis-sosiologis, diharapkan
selain akan memulihkan hukum dari keterpurukannya, juga yang lebih riil,
pendekatan yuridis-sosiologis diyakini mampu menghadirkan wajah keadilan
hukum dan masyarakat yang lebih substantif.
Untuk itu diperlukan penegak hukum
yang berintegritas dan berkomitmen tinggi untuk melakukan penegakan hukum
khususnya dalam upaya pemberantasan korupsi. Artinya polisi, jaksa, dan
hakimnya juga harus benar-benar bersih terutama pimpinannya. Jangan sampai
kejadian tahun perseteruan KPK vs Polri terulang lagi. Karena penegak hukum
yang bersih merupakan modal yang sangat kuat dalam penegakan hukum yang
didambakan. Ibaratnya menyapu ruangan yang kotor tentulah dengan sapu yang
bersih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar